Minggu, 17 Januari 2010

-

Gugah Adikirana Putri


perempuan ini, ku gambar kan sebagai tokoh utama. dan ini lah aku Gugah Adikirana Putri. cerita singkat bersambung ini ku persembahkan kepada Pria Desember.


Gugah's.


"mbak Gugah," ketukan dipintu.. memaksaku bangun. mentari telah terbit diufuk. handphone ku juga berdering berulang - ulang kali. Sial, umpatku. tertera di layar "Arial", oh ya pria yang belum lama jadi pacarku ini telah berulang kali menelponku. Kiranya dia aku lupa akan janjiku, sejujurnya memang aku lupa. beginilah, hidup sendiri. hanya dengan pembantu. jenuh? tidak. ini hidupku. aku berhak mengaturnya. Orang tua? Masalah kompleks. dan dont mind it.



Kemang, 12.30 Siang



"Kamu tau ini jam berapa?",
"Tau.",
"Kenapa kamu terlambat?",
"Bukan urusan kamu!",
"Kamu egois!",
"Terserah, ini hidupku. Apa urusanmu?".


Maaf Arial. ini hidupku. bukan hidupmu.

Seketika atmosfir ini berubah tegang. aku melunak, "Maaf,". Entah kesekian kali aku keras kepala. Seharusnya aku sedikit mengerti dirinya khawatir padaku. Tapi entah mengapa rasa itu sama. Datar.

Kali ini kami sibuk memesan makanan. handphone Arial berdering dan memecah konsentrasi. Yah mengganggu tepatnya. Toh itu bukan urusanku, peduli setan.


2 minggu berlalu setelah kejadian itu, kami berpisah. Yah Arial bagian dari permainanku, meski dia yang pertama. Setelah kejadian Arial. Aku memutuskan pergi ke Jogja. hidup yang menumpang dari orang tuaku hingga ku dapatkan kerja membuatku lebih banyak menghabiskan uang daripada mengumpulkannya.


Stasiun Gambir, 07.30 Pagi


Kereta Api jurusan Jogja telah ada, dan aku telah masuk. Sepi. Lengang. Ya pasti, mana ada yang bisa liburan ditengah hiruk pikuk kesibukan kerja. Pasti semua berpendapat, Jakarta Gitu loh..
yah memang itulah adanya. Jakarta. Pembunuh, pemberi hedonis. Candu.

Kenapa aku tidak memilih pesawat? Klise. Aku ingin melihat pemandangan. Kapan lagi aku dapat melihat sawah yang masih asri? Jawabannya, Jarang. Dan hampir tidak pernah. Arloji menunjukkan pukul 9. Ah ini udah nyampe mana ya.. Lengang. Mengantuk. Aku memutuskan untuk tidur. Yah akibat insomnia..


dan HALO JOGJAAAAAAAAAAAAAAAAAA! Wow excited! Atmosfir, rasa dan penciuman pun berbeda. Tentu, crowdnya juga sangat berbeda dengan Jakarta.


Baru saja aku sampai, ponselku sudah berdering. "ARIAL". Ah pria itu, tak bosannya dia menggangguku.

"Dimana? Ku temui dirumah kata Bibik mu itu, kamu pergi. Kemana?", "Jogja.". Singkatku, "Oh masih marah padaku?". Arial salah, tentu dia salah. Ah ya percuma aku berbicara pada si otak udang ini. "Gah, jawab. Kamu marah?". Ih, apa kaca di dunia ini sudah pada retak? Masih tak sadar juga. Bagaimana aku tidak marah, berani-beraninya dia membentakku di depan orang lain. "Maafkan aku, aku keterlaluan.", Baguslah kau sadar pria sombong! Jujur, sebagian lagi memang salahku. Tapi egoku tak mau mengakui, tentu. Mengakui kekalahan berarti sama saja aku menjatuhkan harga diriku. Dan baru saja aku sampai stasiun Tugu, Arial sudah menelponku. Jenuh. Tentu.


Aku pergi menyewa sebuah mobil, dengan mobil ini aku bisa pergi kemanapun selama seminggu. Ya aku menyewanya untuk seminggu. Aku menginap dihotel, hotel kecil. Cukup nyaman. Aku terlelap hingga pukul 2 pagi. Belum mandi, belum makan. Lapar. Mungkin petugas telah mengetuk berulang kali mengantarkan makanan. Yah sudahlah. Kali itu aku berkeliling Jogja, sendirian. Takut? Tidak. Buat apa aku juara Tae Kwon Do tapi aku takut pada orang-orang yang menggangguku? Useless. Oke, aku berhenti di tukang nasi kucing di pinggir jalan malioboro. Sempit. Jorok. Tapi peduli setan, aku lapar!



Di pojokan aku makan, sambil menyalakan rokokku, banyak pria hidung belang memperhatikanku. Ah tak peduli, ini hidupku. Berani kau menyentuh tak segan-segan ku patahkan lehernya! Seram? Tidak. Ini biasa.

Kali ini om-om hidung belang berani mencolekku, tanpa pikir lama ku tampar wajahnya. Kericuhan terjadi. Kini aku terkepung bersama para lelaki haus belaian. Brengsek, umpatku. Aku tak bisa tinggal diam. Sial, pria berkumis itu mencoba menciumku. Ku tendang selangkangannya. Kini mereka mulai menyerangku berbarengan. Ah ini neraka! Aku menubruk mereka, ah mereka mabuk! Kesempatan untukku lari. Aku kedalam mobilku dan menginjakkan gas sedalam-dalamnya dan pergi dari tempat laknat itu. TUHAAAAH APA DOSAKU?! Ingin aku menangis, tapi percuma. Tak ada yang peduli, aku sendiri.

Handphone ku bergetar, "Beloved Mom". Pesan dari ibuku. Oh kupikir dia lupa padaku. Kupikir dia nyaman di negaranya bersama suami barunya. Peduli setan, kini dia di Jakarta. Dan aku di Jogja. JAUH DARINYA. Entah kenapa aku masih tidak peduli dengannya. Jujur aku kecewa ketika ia lebih memilih menikah lagi setelah ayahku meninggal 6 tahun yang lalu. Ya kini aku berusia 20 tahun. Pekerjaan? Aku tak butuh. Ayah tiriku mengirimi ku berlebih. Cukup untuk anak cucuku nanti kedepan. Sesungguhnya aku beruntung memiliki ayah yang kaya. Tapi dia tak pernah memberiku kasih sayang. Sekali sampah akan tetap sampah. Kenapa contact dia di ponselku kunamakan 'beloved mom'? Jujur, itu hanya formalitas.

Aku memarkir mobilku. Turun, masih merokok dan lagi-lagi orang-orang mabuk. Meski kini mereka tak menggangguku, tapi aku benci pria pemabuk. Ayah tiriku, pemabuk. Adikku berumur 5 tahun, andai ia tahu bahwa aku membenci ayahnya.. Oh dia terlalu muda untuk memahami realita. Sebenarnya, nama Gugah Adikirana Putri ini ditambahi nama belakang, yaitu Smith. Ayah tiriku, Billy Joseph Smith dan adik tiriku, Maurice Emmanuel Smith. Ibuku menikah di Jerman. Aku tak ingin ikut. Teringat akan ayahku..

Ayah.. hal terakhir yang ku ingat tentangnya hanyalah kepahitan.


Dan di ponselku terpampang fotoku dengan seorang pria. hal terindah dengan pria itu. yang buatku mencampakkan Arial. Tak pernah menjadi milikku, tp selalu bertengger indah di relungku. Siapa pria itu? Entahlah. Statusku dengannya tak pernah jelas. Dan ketika aku memilih Arial, aku harus menyimpan itu. dan kini aku mengembalikan foto itu di layar ponselku. saat dimana ia merangkulku, tidak ia bukan sepupu bahkan pamanku. mungkin ia memang lebih dewasa dariku, umur kami terpaut 4 tahun. dia mengerti diriku bagaimana aku. dia selalu berusaha menjadi yang aku mau, tapi tak pernah mengumbar status. aku mencintainya..

Dan kini pria itu pergi, aku pun berusaha menutupi kehilangan itu. meskipun aku terluka. Pramuditya Bismakara. aku menyebutnya Bisma. kenangan ku dengannya, ia terkadang menjadi kakak untukku, menjadi teman. terkadang melindungiku. dan aku setiap hujan berada dipelukannya. dulu aku mencintai hujan. Dan kini? jujur aku membenci hujan. hujan membuatku terenyuh dipelukkannya. dikala ia mengecup bibirku, menyentuh tengkuk dan mendekapku. ia tahu aku kesepian. dan pelukannya..

terakhir aku bertemunya 1 bulan yang lalu, di bandara itu. ia mengecup bibirku, lagi. dan ia pergi. mengejar apa yang telah menjadi mimpinya. dan hingga kini ia belum kembali, entahlah. Bisma. Pria luar biasa menghiasi desemberku.


(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar